Tentara Nasional Indonesia (TNI) diminta terlibat dalam politik
kenegaraan. "Tentunya bukan politik praktis," ujar mantan Wakil Presiden
Try Sutrisno dalam acara temu antargenerasi TNI di Kementerian
Pertahanan, Senin, 1 Oktober 2012.
Politik kenegaraan yang
dimaksud Try meliputi kewajiban TNI untuk memahami dan mengawal dinamika
perubahan konstitusi. Pasalnya, dia menilai perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan tak hati-hati. "Sepanjang 1999-2002,
empat kali konstitusi diubah," kata Try.
Menurut dia, tak ada
negara lain di dunia yang melakukan perubahan konstitusi semudah itu.
"Bahkan, Belanda yang sistem tata negaranya sudah mapan perlu 10 tahun
untuk melakukan kajian perubahan konstitusi," kata dia.
Begitu pula dengan Amerika Serikat yang tak serampangan mengubah konstitusi negaranya. "Undang-undang asli ciptaan founding fathers (pendiri bangsa) tidak diganggu gugat dan tetap menjadi rujukan," ujar Try.
Try khawatir ada agenda asing di balik amendemen yang dilakukan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat ketika itu. "Ini merupakan bentuk perang hukum
di era globalisasi," kata dia.
Untuk itu, TNI tak boleh diam
saja. "Jangan mau diacak-acak kepentingan asing," ujar Try. TNI harus
berani menyuarakan pendapatnya jika konstitusi diubah dan tak sesuai
lagi dengan ideologi Pancasila. "Jangan sampai liberalisme yang
berseberangan dengan nilai bangsa menggantikan ideologi kita," ujar pria
kelahiran 1935 ini.
Jenderal purnawirawan ini mengaku tak
mempermasalahkan penghapusan dwifungsi TNI. "Itu semua sudah keputusan
politik," kata Try. Namun, ia menegaskan, tanpa dwifungsi pun TNI harus
berani mengajukan pendapat. "Jangan cuma mengurusi bedil," ujar dia. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar