Majalah Tempo edisi Senin 29 Oktober 2012 menurunkan laporan utama berjudul "Repot Mencari Simbah"
mengenai pengadaan alat utama sistem senjata. Selain uzur, peralatan
itu dibeli dari banyak negara sehingga platformnya pun berbeda-beda. Itu
sebabnya, dalam urusan pembelian senjata, kerap terdengar olok-olok
bahwa penentunya bukan angkatan, melainkan rekanan. Peran pihak ketiga
alias makelar dalam pengadaan peralatan militer ditengarai bahkan lebih
dominan dibandingkan dengan penggunanya.
Broker, yang
mewakili produsen, umumnya menyorongkan peralatan pada awal masa
penyusunan anggaran. Angkatan atau Kementerian Pertahanan kemudian
menyusun spesifikasi pembelian peralatan militer berdasarkan tawaran
itu. Tentu saja, seperti yang terjadi pada pembelian helikopter tempur
Mi-17 dari Rusia pada 2007, suap mewarnai proses ini. Analis militer
menyebutkan pembelian model ini berdasarkan desakan pemasok (supplier
driven factors) dan tak semata muncul dari kebutuhan (need driven
analysis).
Potensi korupsi dalam pengadaan alat utama
sistem persenjataan memang sangat besar. Soalnya, peralatan militer
memiliki spesifikasi khusus yang acap tidak ada pembandingnya.
Produsennya pun terbatas, bahkan pada beberapa peralatan hanya ada
produsen tunggal. Apalagi, dengan alasan rahasia, pengadaan dilakukan
melalui penunjukan langsung.
Meski dinyatakan telah jauh
berkurang, peran makelar--juga korupsi--dalam pembelian senjata ternyata
masih cukup besar. Dengan karakteristik peralatan yang dibeli, seperti
dikatakan Said Didu, Asisten Bidang Kebijakan Komite Kebijakan Industri
Pertahanan, peluang tertinggi terjadinya kebocoran ada pada Angkatan
Laut, dan yang terkecil pada Angkatan Darat.
Peluang
korupsi dalam pengadaan alat militer itu semestinya segera ditutup.
Peran makelar juga sepatutnya diakhiri. Apalagi anggaran belanja alat
tempur ini meningkat setiap tahun. Dari sekitar Rp 28 triliun tahun ini,
dua tahun mendatang anggaran itu sudah Rp 43,8 triliun. Pada 2030,
alokasi dana untuk belanja alat utama sistem persenjataan akan menembus
Rp 100 triliun. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar