Minggu, 28 Oktober 2012

Beretika di Media Sosial

Pengguna atau penikmat media sosial cenderung merasa bebas berekspresi di ruang maya. Dari mengkritik perilaku orang lain, mengunggah gambar-gambar korban kecelakaan atau berbau pornografi, menulis kabar bohong, melecehkan orang lain, hingga menyampaikan hal yang sifatnya melanggar privasi.
Bagaimana sebenarnya beretika di media sosial?
Etika dalam bersosial di media seperti itu sebenarnya sama dengan kehidupan sehari-hari. “Saya kira semua orang paham etika kehidupan sehari-hari, dan itu tinggal diimplementasikan dalam bersosial media,” kata Didi Nugrahadi dari SalingSilang.com.

Kendati demikian, dia menegaskan, tidak ada keharusan mematuhi etika dalam bersosial media. “Contoh sederhana, ketika saya sedang meeting dengan tiga orang teman di resto. Lalu ada salah satu dari kita bertiga nge-tweet,Gue lagi meeting di restoran ini sama si A, B, dan C’. Menurutku apa yang dilakukan sudah melanggar privasi,” kata Didi.

Sebab, belum tentu semua orang mau dipublikasikan di media sosial. Meski demikian, tak bisa memberi sanksi kepada pelaku, karena sejak awal tidak ada kesepakatan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan teman-teman. 

Kalaupun ada sanksi, lanjutnya, sifatnya sanksi sosial. “Orang tersebut dengan sendirinya akan tersingkir dari lingkungan sosial media,” ujar Didi.  Tapi jika orang yang merasa dirugikan ingin sanksi hukum, bisa melaporkannya ke pihak berwajib. 

Bentuk sanksi sosial bisa berupa protes maupun tidak melibatkannya lagi dalam kehidupan media sosial maupun kehidupan nyata. “Misalkan di-publish seperti itu, saya pasti langsung protes. Saya pasti kasih tahu dia bahwa saya tidak suka, dan belum tentu semua orang mau di-publish. Jika pada meeting berikutnya dia masih melakukan itu, maka di hari berikutnya saya tak mau meeting dengan dia,” jelas Didi.

Didi menambahkan, setiap orang, baik tertib dan tidak tertib pasti punya perasaan untuk mengukur apakah yang dilakukan benar atau tidak.  

Sebagai orang yang aktif di media sosial, Didi mengaku punya rambu tersendiri. “Kalau ada timeline yang menurutku menyinggung perasaan orang lain, pasti saya langsung mute supaya nggak kelihatan dan aku nggak follow lagi,” kata Didi yang yakin lebih banyak orang positif di media sosial. Buktinya, media sosial masih tetap ada hingga sekarang. 

Menurut Yandi Rofiyandi, Editor di Tempo.co, sebenarnya saat ini pengguna internet atau media sosial di Indonesia sudah mulai dewasa. Mereka bisa memilah mana yang baik dan tidak baik untuk di-post di media sosial.

“Umumnya masyarakat sudah punya filter sendiri, tanpa harus ada aturan baku. Karena sejauh ini belum ada UU Sosial Media selain UU tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik),” katanya.

Yandi sependapat dengan Didi, bersosial media ataupun berselancar di internet kurang lebih sama dengan bersosialisasi di kehidupan nyata. “Jadi apa yang menjadi acuan kita dalam berinteraksi di kehidupan nyata, tentu juga bisa kita terapkan dalam berinteraksi di sosial media,” jelasnya.

Walau begitu, Yandi tidak memungkiri, media sosial maupun internet sangat memungkinkan orang untuk berbuat semaunya dan bertindak di luar aturan kehidupan sehari-hari meski presentasenya sedikit. 

“Namun kita tidak bisa memvonis, orang yang dalam pergaulan nyata dikenal nakal sudah pasti nakal juga saat bergaul di media sosial. Sebab, ada orang yang yang dalam kehidupan nyata asyik diajak bergaul tapi di media sosial terkesan tidak asyik,” kata Yandi.

Ada pula orang pendiam tapi rajin nge-tweet, malah cenderung ‘bawel’ di Twitter. “Memang belum ada penelitian tentang hal itu, tapi kalau kita bicara berdasarkan asumsi kebanyakan orang, maka bisa disimpulkan bahwa etika seseorang dalam kehidupan nyata akan memncerminkan etikanya di kehidupan sosial media, atau sebaliknya,” jelasnya.

Jika ada orang yang tidak sopan di sosial media, lanjutnya, kita hanya bisa menyikapi dengan “unfollow”.

Dia mengakui bahwa kehidupan media sosial bisa mempengaruhi kehidupan nyata. “Kita juga tidak perlu berharap agar kehidupan bersosial media akan baik-baik saja. Menurut saya, kehidupan sosial media juga perlu dinamika,” katanya.

Namun demikian, ia berharap ada konsistensi kelompok masyarakat yang menyuarakan atau mengampanyekan internet sehat termasuk di media sosial. “Kalau menurut saya pribadi, pengguna internet sudah dewasa jadi dibiarkan saja juga tetap akan baik-baik saja,” tandasnya.

Sementara Wicaksono, blogger lawas, mengingatkan bahwa etika bukanlah sesuatu yang tertulis, kecuali etika jurnalistik. “Tidak ada yang disepakati bersama oleh para pengguna media sosial. Tapi media itu kan semacam ruang publik, jadi etika yang berlaku sama dengan etika kehidupan kita sehari-hari,” kata Wicaksono.

Etika ini bukan harus dipatuhi, tapi cukup jadi pedoman. Sebab, lanjutnya, etika itu intinya sebuah pedoman. “Misalnya pedoman di jalan raya ada UU Jalan Raya. Tapi ada juga etika di jalan yang tidak tertulis dalam UU,” katanya.

Wicaksono juga sepakat tentang sanksi sosial bagi pelanggar etika. Hanya itu yang bisa diberikan. Sebagai gambaran, katanya, ketika ada orang berperilaku tidak sesuai etika di kantor, langsung bisa ditegur. Minimal diberitahu. 

“Tapi kalau dia menolak mematuhi, kita tidak punya perangkat hukum untuk menghukum orang yang melanggar etika tersebut,” kata Wicaksono. Karena itulah, hanya sanksi sosial yang bisa berlaku. Orang yang melanggar etika bakal dijauhi teman-teman. Sumber

Tidak ada komentar: