Syahdan, di awal-awal kepemimpinan pada 1997, Perdana Menteri RRC Shu
Rongji berpidato, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk
mengubur para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan
tindakan korupsi.”
Sebaris kalimat dari seorang pemimpin negara yang
kemudian begitu melegenda dan menjadi spirit luar biasa bagi
keberhasilan Cina dalam perang besar menghancurkan korupsi di negara
tirai bambu itu. Zhu Rongji secara revolusioner memulai reformasi ‘bukan
basa-basi’ dengan dimulai dari diri sendiri. Keteladanan dan ketegasan
menjadi kekuatan utama komitmen khas turun temurun falsafah bangsa
Cina.
Tak heran, dalam tempo tak lebih dari satu
dasawarasa RRC berhasil menekan angka korupsi sampai ke titik terendah,
untuk kemudian di dasa warsa selanjutnya hingga hari ini, RRC tumbuh
menjadi raksasa ekonomi yang bahkan disinyalir bakal mengancam dominasi
negara adidaya Amerika.
Lain di Cina, lain pula di Indonesia. Dalam hampir
banyak hal, bangsa nusantara masih harus belajar ekstra keras dari
bangsa Cina, termasuk di dalamnya dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana
tidak, reformasi perang besar anti korupsi di Cina dengan Indoneisa
boleh dikatakan berawal balok start yang sama.
Cina 1997, bahkan Asia, termasuk Indonesia, kala itu
senasib sepenanggungan tengah mengalami fase-fase kritis menghadapi
dampak krisis ekonomi global. Hanya saja secara historis tonggak
reformasi Indonesia ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada Mei
1998.
Tragis dan ironis, 14 tahun telah berlalu, agenda
utama KKN (Korupsi-Korupsi-Nepotisme) yang menjadi simbol pemersatu
rakyat dan mahasiswa dalam gerakan reformasi seakan tinggal angan-angan
belaka dan busa-basa-basi. Alih-alih ‘membersihkan negara,’ semakin hari
justru ‘kekumuhan berlapis-lapis’ semakin menebal dan semakin kental.
Korupsi sistemik-endemik justru semakin mengganas menggurita.
Korupsi yang dulu tersentral di kalangan elit dan
pusat kota, kini justru menyebar merata di seluruh kalangan dan
daerah-daerah. Alhasil, hampir 250 juta manusia Indonesia mengenal dan
mencicipi kue korupsi. Ekspansi korupsi, gurita bermutasi di bumi
pertiwi, tradisi korupsi menjadi-jadi, ‘bukan basa-basi.’
Kegagalan korupsi yang utama disebabkan oleh tidak
konsistennya negeri ini dalam ‘bercita-cita.’ Keteladanan kepemimpinan
menjadi sumber masalahnya. Sangat kontras dengan gerak spirit pidato Zhu
Rongji yang mereformasi tradisi korupsi dari atas ke bawah, kita justru
terbalik. Seperti gerak pisau belati, perang anti korupsi di sini
tumpul di atas, tajam ke bawah.
Para pemimpin berkoar-koar, tapi saling melindungi
diri, korps dan instansi. Lempar batu sembunyi tangan, maling teriak
malng, setan teriak setan. Tak heran jika akhirnya rakyat melakukan hal
sama, karena memang seperti itulah keteladanan kepemimpinan yang
diajarkan. Pemimpin sibuk ‘membersihkan’ rakyat, rakyat sibuk
‘membersihkan’ pemimpin. Lingkaran setan korupsi sistemik-endemik,
akhirnya setan korupsi terus melenggang semakin mengembang.
KPK dan Polri yang seharusnya bersinergi malah
berkompetisi saling menggembosi energi. Penjara gagal menjadi penjera.
Hukum hanya permainan politik penguasa. Ketegasan dan kepastian hukum
hanya retorika. KPK hanya menjadi pelengkap penderita. Kita semua,
terlebih rakyat jelata, nyaris putus asa. Maka, wacana hukum mati
koruptor, kini suka tak suka, jangan hanya sekadar wacana. Hukuman mati
bagi koruptor adalah harga mati jika kita sebagai bangsa masih ingin
selamat dan bertahan dari kehancuran yang tak tertolong.
Hari ini, wacana hukuman mati bagi koruptor kini
kembali digulirkan oleh PBNU. Organissasi terbesar umat Islam ini baru
saja menutup Munas dan Konbes dengan menghasilkan keputusan yang telah
direkomendasikan kepada presiden SBY. Salah satu dari rekomendasi itu
adalah berkaitan dengan masalah korupsi. NU menegaskan agar koruptor harus dihukum mati hartanya disita.
Menanggapi rekomendasi NU mengenai hukuman mati ini beberapa tokoh menyambut baik. Salah satunya adalah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso,
yang menilai seharusnya tak hanya teroris dan narapidana narkoba yang
dihukum mati, namun juga koruptor yang merugikan uang negara.
Jaksa Agung Basrief Arief, berpendapat koruptor bisa dihukum mati asalkan ada kesepakatan dan
regulasi. Basrief mengatakan wacana hukum mati koruptor harus dipandang
secara menyeluruh agar bisa dilakukan perbandingan dalam prosesnya.
Menurutnya, regulasi hukum mati koruptor yang ada saat ini baru ada bagi
koruptor dana bencana alam nasional, sementara regulasi untuk koruptor
biasa masih belum ada.
Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD juga sependapat dengan hasil Munas NU, bahwa koruptor-harus-dihukum-mati,
karena koruptor tidak kalah berbahaya dari teroris. Mahfud menambahkan,
di dalam konstitusi ada pasal 12 dan pasal 22 UUD 1945 yang berbicara
tentang keadaan bahaya dan kegentingan bagi negara sehingga pemerintah
harus mengambil langkah-langkah khusus. Saat ini, korupsi juga mengancam
keselamatan bangsa dan negara, karena itu hukuman mati cocok bagi
koruptor.
Tidak ada kata terlambat untuk kita berbenah. Jika
kita semua benar-benar bertekad bulat dan berkomitmen ‘bukan basa basi’
untuk menyelamatkan negeri ini, maka tak ada pilihan dengan berbagai
eksperimen hukum, entah apapun alasannya, kendatipun isu HAM kerap
menjadi pengganjalnya. Reformasi ‘bukan basa-basi,’ merevolusi mental
dan tradisi korupsi, menggulirkan perang sejati memutus lingkaran setan
korupsi dari detik ini. Dan hukuman mati koruptor adalah harga matii!
2 komentar:
Setuju Bang ayo teriyakkan Indonesia bersihkan dari Koruptor
Kalo ada Hukuman mati nanti HAM ga ada kerjaan dong, trus sisa korupnya ga bisa bagi-bagi lagi sama yang laen,makanya banyak yang setuju HUKMAT buat koruptor, seolah-olah aja mrk stj, padahal mah nol besarlah mereka di yang buat UU nun jauh disana.
Posting Komentar