Selasa, 18 September 2012

HUKUM MATI KORUPTOR

       Syahdan, di awal-awal kepemimpinan pada 1997, Perdana Menteri RRC Shu Rongji berpidato, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk mengubur para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan tindakan korupsi.”

    Sebaris kalimat dari seorang pemimpin negara yang kemudian begitu melegenda dan menjadi spirit luar biasa bagi keberhasilan Cina dalam perang besar menghancurkan korupsi di negara tirai bambu itu. Zhu Rongji secara revolusioner memulai reformasi ‘bukan basa-basi’ dengan dimulai dari diri sendiri. Keteladanan dan ketegasan menjadi kekuatan utama komitmen khas turun temurun falsafah bangsa Cina. 

     Tak heran, dalam tempo tak lebih dari satu dasawarasa RRC berhasil menekan angka korupsi sampai ke titik terendah, untuk kemudian di dasa warsa selanjutnya hingga hari ini, RRC tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang bahkan disinyalir bakal mengancam dominasi negara adidaya Amerika. 

    Lain di Cina, lain pula di Indonesia. Dalam hampir banyak hal, bangsa nusantara masih harus belajar ekstra keras dari bangsa Cina, termasuk di dalamnya dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, reformasi perang besar anti korupsi di Cina dengan Indoneisa boleh dikatakan berawal balok start yang sama. 

    Cina 1997, bahkan Asia, termasuk Indonesia, kala itu senasib sepenanggungan tengah mengalami fase-fase kritis menghadapi dampak krisis ekonomi global. Hanya saja secara historis tonggak reformasi Indonesia ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998.

    Tragis dan ironis, 14 tahun telah berlalu, agenda utama KKN (Korupsi-Korupsi-Nepotisme) yang menjadi simbol pemersatu rakyat dan mahasiswa dalam gerakan reformasi seakan tinggal angan-angan belaka dan busa-basa-basi. Alih-alih ‘membersihkan negara,’ semakin hari justru ‘kekumuhan berlapis-lapis’ semakin menebal dan semakin kental. Korupsi sistemik-endemik justru semakin mengganas menggurita.

      Korupsi yang dulu tersentral di kalangan elit dan pusat kota, kini justru menyebar merata di seluruh kalangan dan daerah-daerah. Alhasil, hampir 250 juta manusia Indonesia mengenal dan mencicipi kue korupsi. Ekspansi korupsi, gurita bermutasi di bumi pertiwi, tradisi korupsi menjadi-jadi, ‘bukan basa-basi.’

     Kegagalan korupsi yang utama disebabkan oleh tidak konsistennya negeri ini dalam ‘bercita-cita.’ Keteladanan kepemimpinan menjadi sumber masalahnya. Sangat kontras dengan gerak spirit pidato Zhu Rongji yang mereformasi tradisi korupsi dari atas ke bawah, kita justru terbalik. Seperti gerak pisau belati, perang anti korupsi di sini tumpul di atas, tajam ke bawah.

      Para pemimpin berkoar-koar, tapi saling melindungi diri, korps dan instansi. Lempar batu sembunyi tangan, maling teriak malng, setan teriak setan. Tak heran jika akhirnya rakyat melakukan hal sama, karena memang seperti itulah keteladanan kepemimpinan yang diajarkan. Pemimpin sibuk ‘membersihkan’ rakyat, rakyat sibuk ‘membersihkan’ pemimpin. Lingkaran setan korupsi sistemik-endemik, akhirnya setan korupsi terus melenggang semakin mengembang.

     KPK dan Polri yang seharusnya bersinergi malah berkompetisi saling menggembosi energi. Penjara gagal menjadi penjera. Hukum hanya permainan politik penguasa. Ketegasan dan kepastian hukum hanya retorika. KPK hanya menjadi pelengkap penderita. Kita semua, terlebih rakyat jelata, nyaris putus asa. Maka, wacana hukum mati koruptor, kini suka tak suka, jangan hanya sekadar wacana. Hukuman mati bagi koruptor adalah harga mati jika kita sebagai bangsa masih ingin selamat dan bertahan dari kehancuran yang tak tertolong.

    Hari ini, wacana hukuman mati bagi koruptor kini kembali digulirkan oleh PBNU. Organissasi terbesar umat Islam ini baru saja menutup Munas dan Konbes dengan menghasilkan keputusan yang telah direkomendasikan kepada presiden SBY. Salah satu dari rekomendasi itu adalah berkaitan dengan masalah korupsi. NU menegaskan agar koruptor harus dihukum mati hartanya disita.

     Menanggapi rekomendasi NU mengenai hukuman mati ini beberapa tokoh menyambut baik. Salah satunya adalah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, yang menilai seharusnya tak hanya teroris dan narapidana narkoba yang dihukum mati, namun juga koruptor yang merugikan uang negara.

   Jaksa Agung Basrief Arief, berpendapat koruptor bisa dihukum mati asalkan ada kesepakatan dan regulasi. Basrief mengatakan wacana hukum mati koruptor harus dipandang secara menyeluruh agar bisa dilakukan perbandingan dalam prosesnya. Menurutnya, regulasi hukum mati koruptor yang ada saat ini baru ada bagi koruptor dana bencana alam nasional, sementara regulasi untuk koruptor biasa masih belum ada.

      Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD juga sependapat dengan hasil Munas NU, bahwa koruptor-harus-dihukum-mati, karena koruptor tidak kalah berbahaya dari teroris. Mahfud menambahkan, di dalam konstitusi ada pasal 12 dan pasal 22 UUD 1945 yang berbicara tentang keadaan bahaya dan kegentingan bagi negara sehingga pemerintah harus mengambil langkah-langkah khusus. Saat ini, korupsi juga mengancam keselamatan bangsa dan negara, karena itu hukuman mati cocok bagi koruptor.

      Tidak ada kata terlambat untuk kita berbenah. Jika kita semua benar-benar bertekad bulat dan berkomitmen ‘bukan basa basi’ untuk menyelamatkan negeri ini, maka tak ada pilihan dengan berbagai eksperimen hukum, entah apapun alasannya, kendatipun isu HAM kerap menjadi pengganjalnya. Reformasi ‘bukan basa-basi,’ merevolusi mental dan tradisi korupsi, menggulirkan perang sejati memutus lingkaran setan korupsi dari detik ini. Dan hukuman mati koruptor adalah harga matii

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Setuju Bang ayo teriyakkan Indonesia bersihkan dari Koruptor

Anonim mengatakan...

Kalo ada Hukuman mati nanti HAM ga ada kerjaan dong, trus sisa korupnya ga bisa bagi-bagi lagi sama yang laen,makanya banyak yang setuju HUKMAT buat koruptor, seolah-olah aja mrk stj, padahal mah nol besarlah mereka di yang buat UU nun jauh disana.