"Pada semester I 2012 penerimaan pajak masih memenuhi target yang
kami tetapkan, tapi begitu kita lihat masuk ke semester II ternyata
dampak dari perlambatan ekonomi global sudah mulai dirasakan," ujarnya
dalam rapat optimalisasi penerimaan dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta,
Selasa.
Menurut Fuad, perlambatan penerimaan tersebut terlihat dari
pertumbuhan pajak penghasilan (PPh) non migas yang hanya tercatat
sebesar 10,06 persen per Agustus 2012.
"Artinya, perusahaan WP besar sudah mulai mengalami perlambatan di
dalam penerimaan mereka, khususnya sektor-sektor komoditi yaitu
pertambangan, kemudian juga termasuk sektor industri pengolahan,"
katanya.
Ia menjelaskan krisis global mengakibatkan penurunan harga komoditas
sehingga menyebabkan sektor pertambangan mengalami kekurangan permintaan
dari Eropa, Amerika Serikat dan China, dan membuat harga jual ekspor
menjadi turun.
Hal tersebut, lanjut Fuad juga berimbas kepada industri pengolahan,
karena sektor ini ikut mengalami penurunan permintaan sehingga
penerimaannya terlihat mengalami pelemahan.
"Itu nampak di kita bahwa WP ini sudah mulai menurunkan setoran
bulanan mereka kepada Ditjen Pajak, sehingga kita sudah mulai lihat ada
setoran yang menurun yaitu PPh pasal 25 yaitu angsuran bulanan," ujar
Fuad.
Menurut dia, beberapa perusahaan dalam sektor tersebut telah membuat
surat permintaan untuk mengurangi setoran bulanannya karena dari
prognosa yang mereka buat hingga akhir tahun terlihat adanya penurunan
penerimaan.
"Mereka diberikan hak untuk memohon pada kami, untuk menyelamatkan
cash flow dan agar mereka mengurangi sesuai prognosa. Mereka sudah
membuat prognosa sampai akhir 2012 itu dan terlihat adanya penurunan,"
ujarnya.
Namun, penerimaan PPh non migas ini secara keseluruhan per Agustus
mencapai 57,37 persen atau sekitar Rp255,7 triliun dari target yang
ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp445,7 triliun.
Pada kesempatan tersebut, Fuad juga memaparkan penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
mencapai 60,79 persen atau Rp204,2 triliun dari target APBN-P 2012
sebesar Rp336,05 triliun.
"Di tengah-tengah penurunan penghasilan mereka tapi transaksi ekonomi
yang kemudian over invoicing itu hilang, sehingga ini bisa
menyelamatkan penerimaan pajak kita dari PPN. Ini jauh melampaui tren
lima tahun sebelumnya," katanya.
Sementara, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mengalami
penurunan dan hanya tercatat 18,42 persen atau Rp5,4 triliun dari target
APBN-P 2012 sebesar Rp29,68 triliun karena adanya pengalihan kepada
pemerintah daerah dan perubahan sistem administrasi.
"PBB ini tahun lalu juga sudah menurun karena disini memang terjadi
perubahan dalam administrasi PBB. Sehingga sampai semester I PBB belum
masuk dan baru akan masuk di akhir tahun," ujar Fuad.
Ia menambahkan penerimaan PPh migas tumbuh 25,8 persen dan tercatat
telah mencapai 75,7 persen atau Rp51,4 triliun dari target APBN-P 2012
Rp67,9 triliun karena harga ICP minyak saat ini lebih tinggi dari asumsi
dalam APBN-P.
"Pada 2013 asumsi kita lebih rendah, sehingga pertumbuhannya turun
jadi negatif. Tapi dalam prakteknya, kalau harganya melampaui 100 dolar
AS, akan jadi positif. Biasanya PPh migas itu selalu melampaui target,
karena asumsi ICP selalu lebih rendah dari realisasi harga ICP,"
ujarnya.
Dengan demikian, Fuad mengatakan penerimaan Ditjen Pajak hingga
Agustus 2012 mencapai 58,72 persen atau Rp519,7 triliun dari target
dalam APBN-P 2012 sebesar Rp885,02 triliun.(ar). Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar