Gratifikasi seks hangat dibicarakan karena menjadi salah satu modus yang
diberikan kepada seseorang yang memiliki jabatan strategis. Meski
begitu, penegak hukum tak dapat mengambil tindakan karena belum memiliki
payung hukum.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengkaji
pemberian sanksi terhadap penerima gratifikasi seks. Pengkajian
gratifikasi seks itu merujuk pada konvensi internasional yakni United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Mahfud MD mengaku banyak menerima laporan mengenai
gratifikasi seksual. Menurutnya, banyak pihak yang tak menerima
gratifikasi berupa uang, namun menerima gratifikasi berbentuk layanan
esek-esek.
Menurutnya, sejak dahulu laporan gratifikasi seksual
sering terdapat pada pemeriksaan pada instansi keuangan. Apalagi
sekarang ini kebijakan bisa terbentuk oleh perempuan cantik.
"Dulu
zaman Orde Baru itu kalau ada pemeriksaan ke daerah, itu yang
disediakan sajian seksual, kalau ada misalnya dulu pemeriksaan
keuangan," ungkap Mahfud.
Menurut Mahfud, mengenai undang undang
yang mengatur soal gratifikasi seksual masih terus dirumuskan. Dan
kontrol yang bisa menghukum pelaku dalam menerima gratifikasi tersebut.
"Undang-undang
(UU) belum tahu nanti biar dipikirkan. Iya kan sudah ada sendri, sudah
seharusnya kalau kontrol-kontrol seperti itu, tapi sulit dibuktikan juga
ya," katanya.
Pimpinan KPK Adnan Pandu Praja menyatakan
pembahasan sanksi para pelaku gratifikasi seks ini sangat menarik.
Apalagi jika hal itu dapat dijadikan ukuran rupiah. Sebab, selama ini
dalam undang-undang yang ada, kebanyakan peraturan mengenai sanksi
gratifikasi terdapat batasan-batasan nominal rupiah.
"Yang diatur
itu ada batasan-batasan rupiahnya. Kalau bisa dijadikan ukuran rupiah,
itu menarik. Sayangnya aturan kita masih seperti itu. Merujuk pada UNCAC
memang masih harus disempurnakan. Beberapa instansi ragu apakah itu
termasuk gratifikasi," ujar Adnan.
Sementara itu, Direktur
Gratifikasi KPK Giri Supradiono mengatakan tidak menutup kemungkinan ada
gratifikasi seks. Menurutnya, dalam UU menyatakan yang tergolong
gratifikasi tidak harus uang tunai tapi bisa berupa diskon dan
kesenangan. Hal itu lah yang dapat digolongkan ke dalam perbuatan
penerimaan gratifikasi seks.
"Ada kemungkinan. UU kita mengatakan
tidak harus uang tunai tapi bisa berupa diskon dan berupa kesenangan.
Memang pembuktiannya tidak harus lapor tapi ini jatuhnya ke case
building karena itu harus dibuktikan," ujarnya.
Ketua Komisi III
DPR Gede Pasek Suardika menilai praktik gratifikasi atau pemberian
hadiah berupa layanan seks kepada pejabat negara, sudah lazim dilakukan
sejak zaman kerajaan. Gede Pasek menilai usulan KPK yang meminta
gratifikasi seks dimasukkan dalam Undang-undang sebagai upaya
berlebihan.
"Kalau diatur secara khusus, berlebihan. Kalau gratifikasi susah, ini membingungkan," ujarnya. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar