Syahganda di Jakarta, Jumat, menyebutkan di negara
yang menganut demokrasi serta memerankan hukum secara tegas untuk
menghadapi kejahatan korupsi, justru tercipta sebuah penistaan yang
melahirkan efek jera.
Menurut dia, sejumlah negara yang berlaku
keras pada korupsi itu kerap membuat sang koruptor dipermalukan di
hadapan publik atau menjadikan kehidupannya merana lantaran perlakuan
sistem hukumnya begitu berat dalam mengganjar koruptor di samping
berkembangnya kontrol dan moral sosial yang tak menaruh hormat sedikit
pun pada keberadaan penjahat kerah putih itu.
Bahkan, kata
Syahganda, untuk negara tertentu kejahatan sang koruptor bisa pula
dikenai hukuman mati seperti diberlakukan oleh China.
Ia menilai
Indonesia tak terlalu keras dalam menjerat sekaligus menghukum para
koruptor sehingga tak membuat perilaku korupsi otomatis dihindari semua
pihak dan pencerminan hukum yang lemah itu, sejumlah koruptor acap kali
leluasa berkeliaran tanpa terkena sentuhan penegak hukum.
Begitu
pun mereka yang mudah keluar masuk penjara setelah dihukum dan sebagian
lagi tak peduli dengan hukuman mengingat masa penjaranya yang pendek.
"Tentu saja, dimensi hukum yang banyak celah kekurangan ini bisa
dipandang memberi toleransi pada kejahatan korupsi," jelas Syahganda,
seraya menegaskan umumnya koruptor mendapat hukuman ringan.
Sementara
itu, katanya, situasi kemasyarakatan di tanah air cenderung mudah
"bersahabat" alias tak membiasakan pengucilan terhadap seseorang yang
terlibat korupsi.
Dengan demikian, kondisi sosial di Indonesia sebenarnya belum
memperlakukan koruptor sebagai musuh bersama, yang selain harus mendapat
hukuman serius dari negara, harkat pribadi koruptor yang tercoreng itu
juga patut direndahkan di tengah masyarakat.
"Jadi, jangan lagi ada kasus seorang koruptor seusai pembebasannya,
lalu dipromosikan dengan jabatan. Ini merupakan penghinaan kepada
masyarakat luas," ujarnya.
Terkait adanya pejabat yang mundur dalam kasus dugaan korupsi,
Syahganda menegaskan hal itu bukan suatu keistimewaan karena telah
berlaku di berbagai negara sebagai bentuk pertanggungjawaban moral
publik.
Ia berharap perbaikan tatanan hukum mendasar guna mendudukkan
kejahatan besar korupsi melalui penerapan sanksi hukum seberat-beratnya
dan menjadikan para koruptor dimiskinkan untuk dinistakan kehidupan
sosial dan ekonominya.
Upaya membangun kerangka hukum yang kuat dan budaya penistaan
koruptor, katanya, memerlukan perwujudan cepat demi tercapainya
kemartabatan bangsa dan negara yang bebas korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar