Jumat, 23 November 2012

Jokowi Memenuhi Tuntutan Buruh


PEMERINTAH DKI Jakarta akhirnya menetapkan upah minimum provinsi (UMP) DKI sebesar Rp2,2 juta per bulan. Penetapan UMP yang dilakukan Gubernur DKI Joko Widodo atau Jokowi itu menjadi titik temu dan mengakhiri tarik-menarik kepentingan pekerja dan pengusaha, untuk sementara.

Untuk sementara karena keputusan itu tidak sepenuhnya diterima kalangan pengusaha. Pengusaha bahkan sempat mengancam akan menuntut Jokowi ke Pengadilan Tata Usaha Negara bila Jokowi menetapkan UMP sesuai dengan rekomendasi Dewan Pengupahan DKI Jakarta sebesar Rp2,2 juta per bulan.

Kalangan pengusaha berpendapat UMP seharusnya sama dengan besaran kebutuhan hidup layak (KHL), yakni Rp1,9 juta per bulan.
Di lain pihak, para pekerja beberapa kali berunjuk rasa di Balai Kota DKI menuntut penaikan UMP 141,45% dari KHL sebesar Rp1.978.789 menjadi Rp2.799.067.

Yang terjadi, Jokowi menetapkan UMP sesuai dengan rekomendasi Dewan Pengupahan DKI. Padahal, menurut kalangan pengusaha, rekomendasi itu tidak ditandatangani pihak pengusaha.



Suka atau tidak, kebijakan sudah ditetapkan dan tidak lama lagi berlaku sebagai standar pengupahan yang harus ditaati di wilayah DKI.

Sesungguhnya meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk pekerja, merupakan kepentingan kita semua. Karena itu, seluruh upaya untuk mewujudkan hal tersebut harus didukung sepenuhnya, tidak terkecuali peningkatan UMP. Namun, di sisi lain, ia tidak boleh mengabaikan perbedaan kondisi perusahaan yang menjadi tempat pekerja mencari nafkah.

Bagi perusahaan-perusahaan besar yang padat modal dan berskala nasional, bahkan multinasional, penetapan UMP Rp2,2 juta per bulan itu bisa jadi bukanlah persoalan besar. Akan tetapi, bagi perusahaan skala kecil, penetapan UMP itu dapat menjadi beban yang sangat memberatkan.

Ironisnya, sebagian besar perusahaan di Indonesia merupakan perusahaan berskala kecil yang relatif lemah. Ketetapan UMP yang baru itu bisa membuat mereka bangkrut.

Karena itu, penetapan UMP itu harus disikapi dengan arif oleh seluruh elemen tripartit, yaitu pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Semua elemen harus bersikap dan bertindak saling mendukung, bukan saling menuntut dan menyalahkan.

Kepentingan publik pun tidak boleh dikorbankan dalam tarik-menarik kepentingan itu. Sangat disesalkan, dalam dua hari terakhir kita menyaksikan yang terjadi justru sebaliknya.

Akibat aksi ribuan pekerja turun ke jalan, Rabu (21/11), dua ruas jalan terpenting di Ibu Kota, yakni Jalan MH Thamrin dan Sudirman, lumpuh total. Jalan Medan Merdeka Barat dan Jalan Medan Merdeka Utara juga tidak bisa dilalui.

Aksi kaum pekerja bahkan telah membuat pelayanan bus Trans-Jakarta pada koridor I jurusan Blok M-Kota dihentikan.
Sangat tidak elok membiarkan hal itu terus terjadi. Kemacetan masif dan demonstrasi berkepanjangan merupakan pesan buruk bagi dunia investasi bahwa iklim berusaha di Indonesia sangat tidak kondusif.

Kita tidak ingin Indonesia menjadi negeri yang ditinggalkan investor. Kita tidak mau negeri ini gagal memberikan kesejahteraan bagi kaum pekerja, tetapi kita juga tidak mau para pekerja justru membuat bangkrut perusahaan.

Tidak ada komentar: