Hujan mulai kerap menyiram Jakarta.
Seperti biasa, sebagian
besar warga Jakarta mulai khawatir akan banjir. Bukan hanya mereka yang
mendiami kawasan rawan banjir, tapi juga warga lain yang, misalnya,
sehari-hari melewati kawasan rawan banjir. Pelayanan angkutan umum akan
berkurang, listrik mungkin akan dipadamkan.
Pada awal bulan
November, Gubernur Joko Widodo mengatakan bahwa saluran dan kanal air
akan diperbaiki dan dikeruk guna mencegah banjir. Tetapi, dia
menambahkan, hal itu tidak akan cukup.
Air harus juga diserap
sebanyak mungkin ke dalam tanah. Di hulu, air harus dicegat, dengan
ditampung dalam reservoir, atau diserap oleh lebih banyak lahan
berhutan. Di dalam Jakarta penyerapan air dapat dioptimalkan dengan
sumur resapan dan biopori secara masif.
Pendekatan Jokowi itu tampaknya sesuai dengan penelitian sejarah yang mendalam.
Restu
Gunawan, dalam buku “Gagalnya Sistem Kanal; Pengendalian Banjir Jakarta
dari Masa ke Masa (1883-1985)” menyimpulkan bahwa sistem kanal telah
gagal.
"Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang
datar sehingga air tidak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi
lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tidak lancar. Pengendalian
banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi
beban banjir sesaat. Namun, apabila ada energi baru, yaitu hujan yang
lebih tinggi dengan periode ulang lebih lama, maka bahaya dan kerugian
akan lebih besar karena kapasitas tampung air akan terlewati, sementara
itu daerah sekitar sudah berubah menjadi kawasan terbangun sehingga
banjir akan masuk ke wilayah-wilayah di sekitarnya."
Buku yang
ditulis Restu adalah studi yang tekun. Ada banyak peristiwa selama satu
abad dicatat, yang menunjukkan betapa setiap kali kanal atau saluran
tertentu selesai dibangun, bebrapa tahun kemudian terjadi banjir lagi.
Dari
sudut pandang nalar-alam (ekologi) hal itu sangat jelas dan mudah
dipahami. Berapa banyak pun saluran dibuat, kalau air yang mengalir ke
dalamnya tidak berkurang, ia akan penuh terus, meluap dan menyebabkan
banjir.
Air yang mengalir di permukaan tanah harus dikurangi.
Air yang diserapkan ke dalam tanah harus ditingkatkan. Ini juga penting
untuk mengatasi intrusi air laut dan menyetop penurunan tanah Jakarta —
yang sudah ditegaskan oleh berbagai penelitian.
Jadi, pendekatan
Jokowi tampaknya sudah benar. Tapi pendekatan yang mengutamakan
penyerapan air yang memang lebih sesuai nalar-alam ini memerlukan
cara-cara pelaksanaan yang berbeda. Gubernur Jakarta sudah memulai
dialog dengan Gubernur Jawa Barat. Sudah ada peraturan tentang sumur
resapan. Kita sangat berharap pelaksaaan ini akan konkret, lancar dan
masif.
Kalau hanya setengah-setengah, akan tidak efektif dan
mendorong kembali ke cara lama yang tidak sesuai dengan nalar-alam.
Peran masyarakat dalam pendekatan baru tersebut sangat penting dan
besar. Semoga Gubernur baru juga berarti birokrasi baru yang mampu
bekerjasama dengan masyarakat.
Untuk jangka pendek, saya khawatir
saluran-saluran tetap harus segera rajin diperbaiki dan dikeruk. Selain
itu, perlu ada suatu rencana utama penanganan banjir, kejelasan bagi
kita semua, bagaimana semua upaya ini terintegrasi dan kita tahu porsi
dan peran masing-masing dalam upaya itu. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar