Israel memang pantas disebut sebagai penjahat perang dan kemanusiaan.
Sejumlah perang sudah mereka lakoni, termasuk Perang Libanon 2006,
Perang 2008 dengan Hamas, dan terakhir operasi militer bersandi Tiang
Pertahanan selama sepekan.
Julukan itu sudah kerap disematkan
oleh para pengunjuk rasa dan pelbagai kelompok pemantau hak asasi
terhadap negara Zionis itu. Bahkan, tim pencari fakta bentukan Dewan Hak
Asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpulkan Israel melakukan
kejahatan perang dalam Perang Gaza empat tahun lalu yang menewaskan
lebih dari 1.400 orang, kebanyakan warga sipil.
Namun, sungguh
sulit membawa para petinggi sipil dan militer Israel ke Pengadilan
Kejahatan Internasional. Hal ini diakui pula oleh Broto Wardoyo, dosen
jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Dia pernah
berkuliah di Israel.
Berikut penuturan Broto kepada Islahuddin dari merdeka.com saat ditemui di ruang dosen kampusnya, Rabu (21/11) siang.
Apakah layak Israel disebut sebagai penjahat perang?
Kalau
definisi penjahat perang, sebetulnya mereka menyalahi aturan perang.
Pertanyaannya kemudian, apakah Israel menyalahi aturan itu? Yang
dianggap penjahat perang itu mereka yang memunculkan korban non-militer.
Itu dilakukan oleh Israel dengan serangan ini.
Kemudian
pertanyaannya juga akan dibalik, apakah kelompok-kelompok Palestina juga
melakukan tindakan itu? Sebenarnya sekarang kita tidak hanya bicara
Harakah Muqawamah al-Islamiyyah (Hamas). Terus apakah mereka hanya
menyasar target militer, jadi akan lebih ke arah sana. Sebenarnya yang
terjadi sekarang ini bentuk perang berbeda, ini bukan perang
konvensional. Kalau kita melihat yang terjadi antara Israel dan
kelompok-kelompok Palestina, itu dikategorikan perang generasi keempat.
Mereka menyebut konflik melibatkan aktor negara dengan non-negara.
Karakternya
berbeda, taktik dan strategi digunakan berbeda. Kalau dalam perang
generasi keempat, seninya di mana kelompok-kelompok kecil ini mampu
mengalahkan negara sudah mapan dengan kekuatan militer dan segala
macamnya.
Kemudian pekerjaan rumahnya, bagaimana yang kuat itu
merespons tantangan-tantangan. Itu Yang terjadi dan dilakukan Israel
karena mereka mengalami masalah ini dengan konsisten sejak 1948. Mereka
berusaha mengembangkan strategi perang untuk menghadapi ancaman-ancaman
seperti ini. Kalau dalam klasifikasi perang disebut sebagai
ancaman-ancaman kecil, bukan besar. Jadi itu yang mereka kembangkan.
Strategi
mereka kembangkan ini kemudian kita sebut tidak bermoral, tidak punya
perikemanusiaan. Jadi itu memang strategi mereka ketika berhadapan
dengan kelompok-kelompok kecil. Tapi kalau yang terjadi sekarang
kemudian perang pada 2006 atau 2008, saya akan cenderung mengatakan ini
sebenarnya satu hal tidak layak untuk dilakukan. Artinya kalau kita mau
menyelesaikan ini tidak harus dengan kekerasan. Saya akan mengatakan ini
adalah tragedi kemanusiaan.
Bukankah konflik ini terus berlangsung karena perdamaian tidak berjalan mulus?
Kalau
kita melihat perdamaian Israel dan Palestina, aktornya itu hanya Israel
dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pertanyaannya kemudian,
apakah PLO benar-benar mewakili seluruh Palestina, karena Hamas tidak
masuk di dalam PLO. Kemudian Jihad Islam juga tidak masuk PLO, bahkan
perkembangan terakhir ada kelompok-kelompok salafi kecil bertebaran di
Tepi Barat dan Gaza.
Mereka ini bukan pecahan dari kelompok mana
pun. Mereka adalah kelompok-kelompok kecil tidak sejalan dengan
pemikiran Hamas, Fatah, dan Jihad Islam. Saya lupa, beberapa bulan lalu
ada pembunuhan terhadap salah satu pemimpin kelompok salafi di Gaza oleh
Hamas. Jadi kalau kita bicara saat ini, tidak bisa mengatakan Hamas,
tapi juga ada kelompok-kelompok kecil ini. Dalam konteks domestik mereka
saling berebut pengaruh.
Kalau kita bicara perdamaian, PLO
harusnya bisa melihat ada aktor-aktor lain di luar mereka. Itu harus
dipikirkan dan digandeng bersama. Sayangnya, ini tidak pernah dilakukan
oleh PLO. Makanya, beberapa akademisi kajian Timur Tengah, yang saya
pahami itu, mereka selalu menyuarakan, kita bicara dulu reformasi PLO.
Ketika
kita sudah bicara reformasi PLO, baru kita akan bisa menghilangkan,
yang oleh Amerika Serikat, Israel, dan Eropa dianggap sebagai pengganggu
perdamaian. Kasusnya Hamas seperti itu. Dalam bayangan Amerika Serikat
dan Israel, Hamas dianggap pengganggu perdamaian dan dimasukkan dalam
kelompok teroris. Ini harus dipikirkan, bagaimana caranya Hamas bisa
masuk di dalam PLO kemudian bisa diajak bernegosiasi.
Apa pernah Hamas mau bernegosiasi selama ini?
Kita
selalu melihat Hamas sebagai kelompok ideologi. Kita akan terus melihat
ke sana. Tapi kita juga harus melihat mereka mulai memikirkan
langkah-langkah terakhir. Mereka bersedia ikut dalam pemilu. Itu salah
satu indikasi adanya pergeseran. Memang kalau kita melihat Hamas sejak
pertama kali muncul, zamannya Ahmad Yasin dan Abdul Aziz Rantissi,
mereka betul-betul ideologis. Kelompok-kelompok atau generasi muda Hamas
sudah mulai berpikir pragmatis dan harus melihat yang lainnya.
Kemudian
(pemimpin) Hamas di Tepi Barat dan Gaza dengan Hamas di luar negeri,
seperti Khalid Misyaal, berbeda secara filosofi. semangat mereka
cenderung moderat, bisa berpikir kalau Hamas terus bertransformasi dari
gerakan militer menjadi aktor dalam politik praktis. Dia punya kebutuhan
untuk itu. Dia mulai melihat terlibat dalam politik dan pertarungan
politik peluang menangnya menjadi besar.
Jadi sifatnya
koordinatif. Tidak bisa mengatakan Haniyah bisa melakukan kontrol atas
sayap militernya. Tidak ada garis tegasnya. Dari sini bisa dilihat
karakter Hamas tidak seperti Fatah yang punya garis komando. Hamas
adalah sel-sel kecil yang tumbuh dan berusaha menjadi satu, tapi logika
masing-masing tokohnya berbeda.
Jika memang harus ke pengadilan perang, siapa mesti diadili?
Yang
bertanggung jawab itu yang harus ditanya. Logikanya, kalau ada operasi
militer oleh tentara Israel, pasti kepala stafnya tahu. Kalau kepala
stafnya tahu, pasti menteri pertahanan tahu, kalau menteri pertahanan
tahu, maka perdana menteri juga tahu. Kalau kita mengurutkan pasti ke
sana. Tidak mungkin operasi tanpa izin dari pimpinannya.
Kalau
ditelusuri ke sana, siapa pun memberikan keputusan itu akan bisa
ditarik. Cuma pertanyaan saya, bagaimana kita akan membuktikan kalau
memang terjadi kejahatan perang.
Dulu saat Ehud Barak mau dibawa
ke pengadilan perang, mereka menuntut hal sama. Dalam bayangan mereka,
kelompok-kelompok perlawanan Palestina juga melakukan hal sama. Ketika
mereka meluncurkan roket dan ada beberapa korban sipil.
Masalah
dukungan dunia pada Israel, negara-negara Eropa akan cenderung tidak
tegas dan tidak mengatakan tidak mendukung. Yang kemudian jadi
pertanyaan, bisa tidak pemimpin-pemimpin Israel dibawa ke pengadilan
perang kalau Amerika Serikat tidak merestui? Ini akan menciptakan
masalah karena orang-orang Israel, para pemimpinnya, paham betul Amerika
Serikat akan mendukung.
Operasi ini sebenarnya dilakukan Amerika
ketika menghadapi kelompok-kelompok teroris. Itu yang dibayangkan
Israel, mereka memahami betul hal itu. Strategi ini mereka pinjam
kemudian kembangkan, digunakan juga oleh Amerika ketika menghadapi
Al-Qaidah. Apa yang dilakukan Amerika di Afghanistan, Irak, akan dibawa
ke sana. Jadi peluangnya berat. Logika-logika ini digunakan Israel, kamu
garuk punggungku, aku garuk penggungmu.
Terus bagaimana cara paling mungkin?
Kalau
ini dibawa ke pengadilan internasional tidak akan produktif
penyelesaiannya, akan terus berkepanjangan. Yang sebenarnya saya
pikirkan justru bagaimana kita kembali proses negosiasi. Kalau dikatakan
dari nol, itu tidak masalah, lebih baik daripada tidak memulai.
Kita
terlalu membayangkan Hamas selalu tidak mau berunding. Sejarah
mencatat, Hamas beberapa kali mengatakan mau melakukan gencatan senjata.
Mereka tidak pernah mengatakan berunding, mereka tidak menggunakan
istilah berunding. Mereka bersedia menghentikan kekerasan dan itu pernah
mereka lakukan dalam sejarah konflik dengan Israel. Pada 2003, mereka
lakukan itu. Mereka menggunakan istilah lebih Islami, yang mereka anggap
mencerminkan dirinya, biasanya mereka mengatakan istilah Hudna.
Itu
sebenarnya perundingan. Itu adalah satu konsesi tidak akan melakukan
kekerasan. Itu muncul dan kemudian diterapkan. Dari situ kemudian ada
peluang, mereka juga bisa bernegosiasi. Kemudian ada perubahan-perubahan
internal, itu juga akan mengarahkan mereka ke arah negosiasi.
Pertanyaan terbesarnya, Hamas tidak pernah didengar sebagai aktor
bersedia melakukan itu. Karena setiap kali Hamas mau melakukan sesuatu,
Amerika dan Israel akan mengatakan itu adalah kelompok teror. Logika ini
seharusnya dipecahkan.
Dari situ kita bisa belajar. Dulu PLO
juga menggunakan kekerasan, akhirnya mau berunding. Jadi kita kemudian
harus berpikir, bagaimana caranya supaya bisa dilakukan perundingan
antara dua pihak ini. Di dorong seperti apa, supaya perundingan dua
pihak ini bisa tercipta. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar