Minggu, 07 Oktober 2012

PSK ABG Makin Marak

Komnas Perlindungan Anak mencatat tiap tahunnya sekira 40 sampai 70 ribu anak Indonesia berusia rata-rata 18 tahun menjadi pekerja seks komersil (PSK). Menanggapi itu, anggota Komisi VIII DPR Ledia Hanifa, menyebutkan tiga faktor penyebab tingginya angka tersebut.
Dia menjelaskan, kasus tersebut melanggar dua undang-undang yakni UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, domain besarnya adalah Undang-Undang Perdagangan Orang.

"Biasanya, modus para pelaku kejahatannya adalah dengan mengiming-ngiming pekerjaan. Namun pekerjaan yang dijanjikan tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan, pelaku terkadang memberikan iming-iming ke orang tua," katanya saat dihubungi Okezone, di Jakarta, Kamis (4/10/2012).

Penyebab tingginya angka tersebut, sambungnya, lantaran implementasi Undang-Undang Perlindungan anak maupun Perdagangan Orang, minim terlaksana. Salah satu pemicunya, terbatasnya jumlah petugas yang menangani kasus terkait anak.

"Di kepolisian ada Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), namun jumlah petugasnya sangat terbatas. Bahkan ada polsek yang tidak memilik unit itu," ujarnya.

Selain itu, kurangnya sosialisasi dua undang-undang tersebut menjadi penyebab ketidaktahuan masyarakat. Sehingga menyebabkan masyarakat abai ketika mengetahui adanya praktik penjualan orang di daerah mereka. "Misalnya di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, yang merupakan lokasi terbanyak kasus perdagangan orang. Perlu dilakukan sosialisasi yang ekstra," tambahnya.

Kesadaran masyarakat dan kurangnya pengetahuan remaja atas modus-modus yang digunakan pelaku juga menjadi penyebab banyak anak Indonesia menjadi korban perdagangan orang. "Lantaran sosialisasi yang masih kurang, kesadaran masyarakat juga kurang," tegasnya.

Sebelumnya Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, menyebutkan rata–rata perdagangan orang berujung menjadi PSK, merupakan sindikat. Diduga melibatkan banyak pihak, seperti imigrasi, tukang ojek, warung, pedagang, yang memungkinan adanya penyuapan.

"Tidak perlu adanya regulasi UU karena memang sudah kuat. Tapi justru implementasi UU itu yang harus ditingkatkan," pungkas Ledia. Sumber

Tidak ada komentar: