Dia menjelaskan, kasus tersebut melanggar dua undang-undang yakni UU
Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, domain
besarnya adalah Undang-Undang Perdagangan Orang.
"Biasanya, modus para pelaku kejahatannya adalah dengan
mengiming-ngiming pekerjaan. Namun pekerjaan yang dijanjikan tidak
sesuai dengan kenyataan. Bahkan, pelaku terkadang memberikan iming-iming
ke orang tua," katanya saat dihubungi Okezone, di Jakarta, Kamis
(4/10/2012).
Penyebab tingginya angka tersebut, sambungnya, lantaran implementasi
Undang-Undang Perlindungan anak maupun Perdagangan Orang, minim
terlaksana. Salah satu pemicunya, terbatasnya jumlah petugas yang
menangani kasus terkait anak.
"Di kepolisian ada Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak), namun
jumlah petugasnya sangat terbatas. Bahkan ada polsek yang tidak memilik
unit itu," ujarnya.
Selain itu, kurangnya sosialisasi dua undang-undang tersebut menjadi
penyebab ketidaktahuan masyarakat. Sehingga menyebabkan masyarakat abai
ketika mengetahui adanya praktik penjualan orang di daerah mereka.
"Misalnya di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, yang merupakan lokasi
terbanyak kasus perdagangan orang. Perlu dilakukan sosialisasi yang
ekstra," tambahnya.
Kesadaran masyarakat dan kurangnya pengetahuan remaja atas modus-modus
yang digunakan pelaku juga menjadi penyebab banyak anak Indonesia
menjadi korban perdagangan orang. "Lantaran sosialisasi yang masih
kurang, kesadaran masyarakat juga kurang," tegasnya.
Sebelumnya Ketua Komnas Perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait,
menyebutkan rata–rata perdagangan orang berujung menjadi PSK, merupakan
sindikat. Diduga melibatkan banyak pihak, seperti imigrasi, tukang ojek,
warung, pedagang, yang memungkinan adanya penyuapan.
"Tidak perlu adanya regulasi UU karena memang sudah kuat. Tapi justru
implementasi UU itu yang harus ditingkatkan," pungkas Ledia. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar