"Harus ada sinergisitas sekolah dengan orang tua," kata Musni, Selasa, 25 September 2012. Setiap terjadi aksi tawuran, lanjutnya, orang tua kerap bersikap protektif tiap kali aparat menciduk siswa yang terlibat.
Ia mencontohkan
ketika puluhan siswa SMAN 70 tertangkap basah membawa senjata tajam pada
2010. Polisi lantas mengamankan para siswa. Tak berapa lama, para orang
tua meminta kepada polisi untuk melepaskan.
"Orang tua
terlalu protektif. Harusnya ada punishment yang tegas," kata Musni. Ia
tidak menampik bila tawuran antara SMAN 70 dan SMAN 6 sudah terjadi
sejak lama.
Ihwal adanya rumor yang berkembang kalau di
balik aksi tawuran ada unsur bisnis, Musni pernah mendengar soal itu.
"Rumor kalau salah satu sekolah bakal dijadikan daerah bisnis memang
sempat saya dengar," ujarnya.
Musni yang pernah menjabat
Ketua Komite Sekolah SMAN 70 mengaku pernah menanyakan soal itu ke
warga sekitar. Dari pengakuannya, banyak warga yang enggan menjual
lahannya untuk dijadikan kawasan bisnis. "Itu rumor saja," ungkapnya.
Sementara itu, dalam jumpa pers di SMAN 6, Jakarta Selatan kemarin,
Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, mengaku prihatin dengan terjadinya
kembali aksi tawuran. Ke depan, dua sekolah itu akan melakukan
konsolidasi untuk mencegah tawuran. "Saat ini kami belum akan bicarakan
soal sanksi karena situasi sedang panas," kata M.Nuh.
Ia berharap tawuran tidak terulang lagi. "Saya tidak mau sekolah ini seperti Palestina dan Israel," katanya. Sumber
Isak tangis dari keluarga dan teman mengiringi
pemakaman Alawi Yusianto Putra, 15 tahun, kemarin. Kematian siswa kelas X
SMAN 6 Jakarta Selatan akibat luka sabetan arit pada Senin lalu itu
menambah panjang daftar pelajar yang mesti mengakhiri hidupnya secara
sia-sia.
Alawi memang tidak sendirian ditangisi seperti
itu. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, sedikitnya
ada 16 siswa lain yang tewas akibat kasus serupa sepanjang tahun ini.
Mereka
berasal dari 86 kasus tawuran antarpelajar yang terjadi di Jakarta dan
sekitarnya. »Ada puluhan lain yang mengalami luka berat maupun ringan
akibat perkelahian itu," kata Ketua Komisi, Arist Merdeka Sirait.
Arist
mengatakan tawuran antarpelajar bukan peristiwa baru, terutama di
Jakarta dan sekitarnya. Tren kejadiannya, menurut dia, bahkan meningkat
dari tahun ke tahun. Pada 2011 misalnya, terjadi 139 kasus tawuran
dengan korban jiwa 39 anak (meningkat dibanding pada 2010 ketika terjadi
128 kasus,” ujarnya.
Arist menyesalkan sikap sekolah dan
pemerintah yang terlihat membiarkan fenomena ini. Wacana penggabungan
SMAN 70 dengan SMAN 6 termasuk yang dia kritik. »Itu tidak akan
menyelesaikan masalah hingga ke akar,” ujar dia.
Koordinator
Bidang Pendidikan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Badriyah
Fayumi, menyatakan jika tawuran yang berulang kali terjadi menyebabkan
kematian siswa, semestinya itu menjadi tamparan keras bagi dunia
pendidikan. "Sekolah yang terlibat, Dinas Pendidikan, dan Kementerian
(Pendidikan dan Kebudayaan) yang tertampar," ujarnya.
Senada
dengan Arist, Badriyah menyatakan, "Itu menunjukkan tak ada iktikad
serius untuk menyelesaikan masalah ini sampai ke akar-akarnya.”
Dia
mengusulkan agar pemerintah membentuk satuan tugas khusus untuk
menangani persoalan ini. Semua unit dilibatkan mulai tingkat
kementerian, dinas, sekolah, hingga keluarga atau orang tua.
Badriyah
mengingatkan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan sebenarnya telah
mendapat sorotan khusus dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. "Setelah
kasus di SMA Don Bosco, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Juli lalu,
Presiden minta jangan terulang," ujarnya.
Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim, mengatakan Kementerian sudah
pernah mengumpulkan 25 anggota pengurus OSIS SMA di Jakarta dan
menggelar pendidikan di Lembang, Bandung, khusus untuk mencegah tawuran.
Program pertukaran pelajar dan guru antarsekolah di DKI Jakarta pun
dilakoni.
»Kami juga sudah lakukan banyak kegiatan
pendidikan karakter, tapi itulah, belum selesai semuanya,” katanya di
kampus Universitas Indonesia kemarin. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar