Hasil hitung cepat tiga lembaga menempatkan Joko Widodo unggul dari Fauzi Bowo dalam pemilihan gubernur Jakarta.
Bila perhitungan KPUD (yang akan diumumkan 28-29 September) punya hasil
serupa, maka Jakarta akan memiliki seorang gubernur baru: Joko Widodo.
Jokowi
menang karena orang terbukti menyukai hal yang ada padanya, yang
kontras terhadap Fauzi Bowo. Pertama, watak dan teknik komunikasinya
yang membuat orang merasa nyaman berdialog. Ini disertai hal penting
lainnya: kesediaan mendengar. Harapannya, dengan itu ia akan mampu
menggalang partisipasi dalam berbagai tingkat.
Ia akan mampu
meraih dukungan warga untuk kebijakannya nanti, juga mendapatkan
keterlibatan konkret warga dalam memperbaiki Jakarta, serta mendulang
gagasan serta inovasi yang sangat diperlukan untuk membuat terobosan.
Jokowi sejauh ini tampil sebagai “one of us”,
bukan orang asing yang terpisah dari warga. Sosiolog Thamrin Amal
Tomagola mengatakan, Jokowi memiliki karisma “kejelataan”. Seorang
sarjana asing mengatakan, Jokowi memiliki "kampungness."
Tentu
saja terdapat keraguan terhadap Jokowi, setidaknya ada dua. Pertama,
Jokowi memiliki seorang “investor” (istilah yang saya ambil dari
Twitter) bernama Prabowo Subianto. Hubungan Prabowo-Jokowi dapat menjadi
positif atau negatif — tergantung pada Jokowi sendiri, PDIP, dan
rakyat.
Demikian juga seberapa besar keuntungan investasi
Prabowo. Sangat tergantung pada investor lainnya, yakni pendukung lain,
PDIP, dan Jusuf Kalla.
Tetapi bukankah lebih besar saham rakyat yang ada pada diri Jokowi?
Keraguan
lain menyangkut kemampuan Joko Widodo menangani Jakarta, yang dianggap
berkali-kali lipat lebih besar dan kompleks dari Solo. Apakah pengalaman
di Solo cukup untuk menangani masalah Jakarta?
Masalah Jakarta
memang jauh lebih rumit dan berskala raksasa. Tetapi, tiga hal padanya
pun jauh lebih besar dan berkualitas. Tiga hal ini adalah: uang (APBD),
wewenang, dan orang (mesin birokrasi). Jadi, tantangan Jokowi seimbang
besarnya dengan sumber daya yang tersedia. Pengelolaannya sangat
tergantung bukan hanya pada pengalaman manajerial, tetapi juga
integritas dan kepemimpinan.
Pada kampanye dan janji Joko Widodo
terlihat beberapa hal yang secara teknis belum matang atau tidak akurat.
Misalnya soal transportasi dengan rel dan "penggeseran" penduduk tepi
Sungai Ciliwung. Tetapi pendekatannya jelas dan inovatif: pro rakyat dan
mencari solusi out of the box. Akankah berhasil? Masih perlu dilihat dalam beberapa bulan atau setahun ke depan.
Yang
jelas, kemenangan Jokowi menegaskan bahwa warga Jakarta telah terlalu
lama menderita dan sudah sangat menginginkan perubahan. Gubernur lama
tidak juga berhasil sesudah sekian lama, mengapa tidak mencoba yang
baru? Dengan yang baru setidaknya ada ruang dan kemungkinan baru.
Keberhasilan
Joko Widodo juga akan tergantung pada kemampuan negosiasinya dengan
DPRD, pemerintah pusat, kalangan bisnis, dan lembaga-lembaga
internasional.
Bagi saya, akhirnya yang paling penting itu adalah
aktivisme warga. Joko Widodo terpilih karena selama 10 tahun terakhir
warga Jakarta menjadi sangat aktif, setidaknya artikulatif dan
berpengetahuan, sehingga siap memilih yang tidak biasa.
Aktivisme
ini perlu dilanjutkan terus dalam bekerja sama secara kritis dengan
gubernur baru. Salah satu cara paling mudah adalah dengan aktif
melaporkan keadaan Jakarta yang memerlukan perhatian melalui klikjkt.
Dalam
era sekarang, hampir tidak mungkin seorang pemimpin dapat berhasil
tanpa warga yang aktif, apalagi pada sebuah metropolis seperti Jakarta. Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar