Neneng Sri Wahyuni, terdakwa kasus korupsi proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemennakertrans tahun 2008,
mengaku sebelumnya ingin kembali ke Indonesia bersama suaminya,
Nazaruddin, dari Singapura.
Mereka ingin pulang karena Nazaruddin
akan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2011,
terkait penyidikan kasus korupsi di proyek pembangunan Wisma Atlet.
Namun, menurut Neneng, Ketua Umum Anas Urbaningrum melarang
kepulangannya.
"Waktu itu suami saya berobat, dan ternyata ada
perintah dari atasannya (Anas), agar suami saya tidak usah kembali ke
Jakarta, dan diharuskan menunggu sampai situasi kondusif, yaitu
diperkirakan tiga tahun lagi, pada 2014 baru dapat kembali ke Jakarta,"
kata Neneng dalam nota keberatan (eksepsi) pribadinya yang dibacakan
oleh penasihat hukumnya, Elza Syarief di Pengadilan Tipikor, Kamis
(8/11/2012).
Awalnya, Neneng membacakan sendiri eksepsi itu, namun
karena tak kuasa menahan tangis, eksepsinya dilanjutkan oleh penasihat
hukum.
Dalam eksepsi itu, tak diungkapkan mengapa Anas melarang
Nazaruddin kembali ke Jakarta. Neneng juga membantah mengetahui proyek
PLTS.
Ia mengaku tidak pernah menjabat sebagai Direktur Keuangan
di PT Anugerah. Semua tudingan yang diarahkan padanya dianggap tak
benar.
"Saya berani menghadapi masalah ini, karena saya tidak
pernah terlibat di proyek apapun. Saya tidak tertangkap KPK, melainkan
secara sukarela pulang dan menyerahkan diri pada KPK," ujarnya.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut mengenai larangan Anas usai sidang, Neneng enggan menjawabnya.
Neneng
didakwa jaksa penuntut umum (JPU) KPK, melanggar pasal 2 ayat 1 junto
pasal 18 UU Tipikor junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau pasal 3 junto
pasal 18 UU Tipikor junto pasal 55 ayat 1 KUHP. Ia terancam pidana
penjara maksimal 20 tahun penjara.
Neneng disebut secara sendiri
dan bersama-sama Muhammad Nazaruddin, Marisi Matondang, Mindo Rosalina
Manulang, Arifin Ahmad, dan Timas Ginting, telah melakukan tindak pidana
korupsi.
Neneng yang sempat melarikan diri ke Malaysia, dianggap
melakukan intervensi terhadap pejabat pembuat komitmen (PPK) dan Panitia
Pengadaan dan Pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), pada
Satuan Kerja Direktorat Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan di
Kemenakertrans, yang bersumber pada APBN-P 2008.
Ia juga
mengalihkan pekerjaan utama PT Alfindo Nuratama Perkasa sebagai pemenang
kepada PT Sundaya Indonesia, dalam proses pelaksanaan pekerjaan
Pengadaan dan Pemasangan PLTS yang bertentangan dengan Keppres Nomor 80
Tahun 2003 tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Akibatnya,
istri mantan Bendahara Umum Partai Demokrat dianggap telah memperkaya
diri sendiri atau orang lain, atau suatu koorporasi. (*) Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar