Menurut Gede Prama, manusia lebih sering bertempur dengan ketiga hal tersebut. Bertempur dengan tubuhnya, misalnya merasa kurang cantik, merasa kurang sehat, dan lain sebagainya. Manusia juga cenderung berperang dengan pikirannya, banyak mengeluh atau menyalahkan. Ditambah lagi, ia tidak mengenal spirit yang menghuni di dalamnya (misalnya di rumah, di jalan, di kantor, ia selalu merasa salah). “Namun begitu well being ditemukan, di samping tidak mudah terluka, seseorang juga mudah memaafkan, sekaligus bisa bertumbuh dalam cuaca kehidupan mana pun,” tutur Gede Prama.
Kemampuan memaafkan juga menjadi salah satu barometer untuk mengukur kedewasaan spiritual seseorang. Kesulitan memaafkan indikasi kalau seseorang masih remaja secara spiritual.
Nelson Mandela, tokoh anti politik Apartheid dari Afrika Selatan adalah contoh orang yang punya pintu maaf seluas samudra. Menurut Gede Prama, Mandela adalah contoh manusia yang ‘tua’ secara spiritual. Mandela dipenjara selama 27 tahun, dan berkali-kali nyaris tewas di penjara karena disiksa, disetrum listrik bahkan dikencingi. Namun saat politik Apartheid berikut kekuasaan kulit putih jatuh, beliau enteng sekali memaafkan lawan politiknya. “Menurut saya, kunci rahasianya terletak pada kematangan spiritual yangg salah satu ciri dominannya adalah kemampuan memaafkan,” papar Gede Prama.
Memaafkan tapi tak melupakan, ungkapan itu banyak digunakan untuk menjelaskan kenapa orang sulit memaafkan. Menurut Monty, dua hal ini konotasinya berbeda. ”Memaafkan adalah membebaskan dari tuntutan, dan hal ini merupakan bentuk sikap. Sedangkan melupakan adalah bentuk ingatan. Ada beda antara sikap dan ingatan,” katanya. Secara sikap, boleh-boleh saja bisa memaafkan. Tetapi, kalau ingatan, belum tentu bisa hilang.
Tokoh pluralisme Budi Munawar Rachman juga menyebut, orang yang memberikan maaf itu termasuk sosok yang memiliki sense of spiritual yang lebih tinggi, ketimbang orang yang meminta maaf. Mengapa?
“Sebab, ia mampu menyebarkan cinta dan memberi kasih pada sesama. Cara ini juga dapat memberikan penyembuhan sosial sehingga bisa hidup dengan damai”,” kata Budi yang juga dosen Universitas Paramadina, Jakarta.
Sayangnya, kehidupan duniawi membuat manusia menjadi lebih egois dan individual, di mana mereka senantiasa disibukkan dengan kepentingan pribadi. Alhasil, manusia lebih mudah untuk saling menyakiti satu sama lain. “Kondisi ini menjadikan manusia kian jauh dari fitrah,” imbuh Budi (1). Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar