Sabtu, 15 September 2012
FOKE GAGAL MEMIMPIN JAKARTA
Dalam debat cagub DKI di Hotel Grand Melia, Kuningan, Jakarta, Jumat, 14/9/2012, Kandidat calon gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menunjukkan kiat suksesnya menjadi wali kota Solo dan akan diterapkan di DKI Jakarta. Jokowi menunjukkan dua kartu saktinya di depan calon gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo (Foke).
Dua kartu tersebut adalah kartu sehat dan kartu pintar, keduanya seukuran kartu KTP. Kartu sehat dapat digunakan warga untuk periksa kesehatan dan cuci darah gratis di rumah sakit swasta maupun milik pemerintah, sementara kartu pintar diperuntukkan untuk masyarakat yang memerlukan pendidikan murah hingga cuma-cuma.
“Dua kartu ini sudah saya terapkan di Solo. Jadi di pilkada pertama saya memperoleh 39 persen suara, di pilkada kedua saya memperoleh 90 persen suara,” kata Jokowi.
Lantas Jokowi menoleh ke arah Foke. Setengah menggoda, Jokowi memamerkan dua kartu saktinya tersebut.
“Kalau Pak Foke menerapkan kartu ini, seharusnya kemarin menang 90 persen,” kata Jokowi sembari tersenyum ke arah Foke (detik.com).
Salah satu indikator keberhasilan seseorang memimpin dapat dilihat dari tingkat keterpilihannya pada periode kedua dia mencalonkan diri. Mantan Gubernur Ali Sadikin yang berhasil memimpin Jakarta adalah salah satu contohnya. Kesejahteraan rakyat yang terjamin membuat Ali Sadikin menjadi seorang gubernur yang dikenang masyarakat Jakarta sebagai gubernur terbaik sampai saat ini.
Nah, jika kita coba membandingkan kepemimpinan Foke dan Jokowi dalam hal tingkat keterpilihan pada saat mencalonkan kembali, maka Foke jelas kalah. Foke yang berhasil menang pada Pilkada pertamanya, tidak mampu menarik kepercayaan publik pada Pilkada keduanya dan hanya meraih 30an persen suara. Sedangkan Jokowi berhasil menang sekali putaran dengan perolehan suara 90 persen pada Pilkada keduanya.
Mengapa Foke dinilai gagal oleh publik? Mengapa keberhasilan yang dikampanyekan Foke melalui media dan secara langsung tidak mampu menarik kepercayaan publik?
Saya pikir masalah utama dari kepemimpinan Foke adalah ketidakjujuran. Foke tidak bisa lagi membohongi rakyat dengan data yang tidak benar. Foke tidak bisa membohongi rakyat dengan janji-janji yang tidak bisa ditepatinya. Jika Jakarta diklaim aman, mengapa ada premanisme? Mengapa ada perang antar ormas?
Belum lagi istilah banjir dan tergenang yang dibedakan Foke agar titik banjir dalam data berkurang. Ya, Foke berhasil mengurangi masalah banjir menjadi hanya tergenang. Padahal istilah itu bagi saya yang bodoh ini sama saja. Apakah air tergenang itu bukan banjir? Jika air tergenang itu adalah sebesar kubangan, maka cocok dikatakan tidak banjir.
Setiap data dan penjelasan Foke tentang keberhasilan kepemimpinannya mentah oleh kecerdasan para pemilih Jakarta. Mereka lebih percaya apa yang mereka lihat dan rasakan sendiri. Hanya sekitar 30 persen rakyat yang percaya kepada Foke, sedangkan yang lainnya serta golput tidak percaya lagi kepada Foke.
Semoga dari kegagalannya ini Foke bisa belajar dari Jokowi. Pemimpin tidak hanya janji, tetapi harus direalisasikan. Jika tidak, maka rakyat tidak akan percaya lagi. Jokowi sudah membuktikan bahwa dia mampu mensejahterakan warga Solo, maka warga Jakarta pun akan mampu disejahterakannya. Sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar